KABAR TASIKMALAYA - Panji Sakti, musisi sekaligus penyanyi yang lagunya sudah dikenal hingga negeri Jiran ini merambah ke dunia puisi. Ia merilis buku puisi pertamanya berjudul “Mungkin Puisi” pada 25 Januari 2024 lalu dan melakukan tur Bincang Buku ke sejumlah daerah, termasuk ke Jakarta.
Sebelumnya, rangkaian Book Tour ini telah terlaksana di Tegal, Bandung, Kuningan, dan Cirebon serta masih akan berlanjut ke sejumlah tempat seperti Purwakarta, Jogja, Banjaran (Bandung), Surabaya, Palembang, dan Garut.
Seniman yang awalnya mengambil jurusan Seni Rupa di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung ini mencoba kemampuannya dalam menulis puisi. Diakuinya, menulis puisi sangat berbeda dengan menulis lirik lagu.
“Saya tidak terlalu percaya diri menulis puisi karena menulis puisi itu beda dengan menulis lagu. Omong kosong kalau (ada yang bilang) sama. (Karena pada kenyataannya) tuh berbeda sekali. Saya harus melepaskan apapun kemampuan saya, Mengosongkan apapun yang jadi atribut, (melepas) ‘baju-baju saya’ sebagai musisi. Kalau saya bikin lirik itu sudah ada nadanya, (tetapi) itu harus saya lepaskan.” tuturnya yang pada Jumat, 2 Februari 2024 lalu.
Saat di Jakarta, Panji menggelar acara Bincang Buku “Mungkin Puisi” di Gripa Studio yang berlokasi di Griya Tapa 9G, Jl. Warung Jati Barat No.9, Jakarta Selatan 12550.
Acara yang dibuka oleh Haidar Bagir ini terasa lengkap karena memadukan beberapa segmen, seperti pembacaan puisi oleh dua sahabat Panji, Evelin Ramadhini, dan Nadia Hastarini. Pantomim serta ditutup dengan mini konser.
Baca Juga: Musisi Panji Sakti Pukau Mahasiswa dan Dosen Unsil
Beberapa puisi yang ada dalam buku “Mungkin Puisi” kemudian dikupas oleh Muhammad Nur Jabir, penulis buku Perempuan Perspektif Tasawuf, penerjemah kitab Matsnawi Maknawi Maulana Rumi serta 40 Kaidah Cinta yang ditulis oleh Shams Tabriz.
Direktur Rumi Institute ini mengatakan bahwa dirinya sempat merasa kaget saat diminta untuk membedah buku “Mungkin Puisi”, karena dirinya bukan sastrawan. Ia kemudian mengatakan bahwa ia menyukai buku itu mulai dari judulnya.
Kata ‘mungkin puisi’ itu adalah sebuah paradoks, mungkin puisi, mungkin juga bukan puisi. Mungkin fana, mungkin cahaya, mungkin ketenggelaman, mungkin keharuan, dan mungkin-mungkin lainnya yang mengingatkan akan Tuhan.
“Saya selalu menyebut Mas Panji seperti sufi darwish, seorang sufi dengan pakaian seperti ini, rock and roll. Sufi darwis adalah sufi yang tidak pernah memakai jubah, dia seperti orang biasa.” tuturnya.
Salah satu puisi yang dikupas secara suluk oleh Muhammad Nur Jabir adalah puisi berjudul ‘Aku Saja’:
di dalam dirimu ada nama-nama
cuman Aku yang bisa manggilnya
di luar dirimu makin banyak pula
cuman Aku yang bisa merintahnya
dan dari semua nama
cuman satu yang diseru:
nama-Ku
Dalam puisi tersebut, papar Jabir, merupakan penyatuan antara objek dengan subjek dalam pembahasan Ibnu Arabi. Di puisi ini semua ditulis dengan huruf kecil termasuk huruf depan, hanya kata Aku yang merepresentasikan Allah yang menggunakan huruf besar.
Sedangkan kata ‘di dalam dirimu ada nama-nama’ dan ‘di luar dirimu makin banyak pula (nama-nama)’ mengingatkan akan Asmaul Husna. Sadar atau tidak, nama-nama Allah itu menjelma dalam diri manusia. Manusia bernapas dengan Rahman Rahim, manusia bisa memberi karena ada Al-Ghafur, dan seterusnya. Nama-nama Allah itu bekerja terus-menerus dalam diri tanpa kita menyadarinya. Puisi berjudul ‘Aku Saja’, sesungguhnya mengingatkan manusia bahwa tanpa adanya Allah, manusia tidak bisa apa-apa. Demikian papar Muhammad Nur Jabir.
Acara yang berlangsung kurang lebih 3 jam ini ditutup oleh MC dengan kalimat yang indah, “Hidup itu diapit dengan semua yang mungkin. Semua yang mungkin, hanya satu yang pasti: ‘Laa ilaaha illallaah’”.
Buku “Mungkin Puisi” karya Panji Sakti telah tersedia di toko buku online seperti Mizan Store, Shopee, Pastel Books, serta toko buku offline Gramedia.***