Khutbah Jumat: Refleksi Hari Keluarga Nasional

- 28 Juni 2024, 08:07 WIB
Ilustrasi Khutbah Jumat
Ilustrasi Khutbah Jumat /Nur Aziz/Foto. Kemenag RI

KABAR TASIKMALAYA - Tanggal 29 Juni pemerintah telah menetapkan sebagai Hari Keluarga Nasional (Harganas). Keluarga Nasional merupakan gambaran utuh dari sosok keluarga yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk senantiasa  menjaga dan memelihara lisan dari ucapan-ucapan yang kotor, serta perilaku yang terpuji dilandasi atas komitmen bersama dalam komunitas keluarga.

Pancaran sinar keluarga menjadi potret kepribadian sosok keluarga, sehingga kemudian suasana dalam suatu keluarga tak dapat dipisahkan sejauhmana perhatian dan tanggung jawab dari keluarga yang bersangkutan terhadap anggota keluarganya, sebagaimana firman Allah dalam alquran surat Attahrim ayat 6 yang artinya: “wahai orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari bahaya api neraka”.

Secara umum pengertian keluarga merupakan bagian kecil dari masyarakat, dengan prinsip memerlukan kedamaian dan kerukunan, keakraban serta kasih sayang diantara mereka anggota keluarga. Sejarah telah membuktikan bahwa, ketika manusia masih hidup primitif, atau diera kehidupan jahiliyah, hingga sekarang, teknologi telah mencapai bintang, ilmu pengetahuan kian berkembang, namun yang namanya keluarga tetap merupakan impian yang senantiasa diperjuangkan.

Sepasang suami istri, dan kemudian anak-anak sebagai intisari keluarga dengan ketentuan-ketentuan menurut adat, agama, sistem dan tata nilai suatu masyarakat selalu dipertahankan.

Baca Juga: Khutbah Jumat: Kriteria Hidup Yang Baik Dalam Islam

Dalam ajaran Islam seperangkat aturan telah menunjukkan arah dan jalan, serta bimbingan bagaimana seharusnya suatu keluarga itu dibina dengan sebaik-baiknya. Bahkan secara luas, kekeluargaan menurut ajaran Islam, adalah selama masih ada pertalian darah, selama masih terikat dengan hukum waris-mewaris harus dipelihara  dan diselamatkan, sehingga kemudian konsekuensinya adalah; apabila terjadi kelainan atau penyimpangan dari ketentuan-ketentuan tersebut seperti berlainan agama, yang kemudian disebut pemurtadan diantara anggota keluarga, maka menjadi gugur hak waris serta hak-hak perwalian lainnya.

Tujuan manusia berkeluarga sejak dulu, meskipun tidak ditetapkan secara pasti adalah untuk menjaga kerukunan dan perdamaian, sehingga kemudian ketahanan keluarga semakin dibutuhkan, manakala manusia tengah dihadapkan dengan berbagai kemungkinan, pada tataran kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi  di era globalisasi seperti sekarang, semakin luasnya hubungan antara bangsa dan antara sesama manusia dengan berbagai profesi dan keyakinan hidup, tampaknya justru semakin menonjol, bahkan lebih dari itu, akulturasi budaya menjadi trend terutama dikalangan generasi muda.

Oleh karena itu, keharusan memelihara sistem ketahanan keluarga, untuk menyelamatkan, memelihara generasi muda kita sebagai anggota keluarga  dari kerancuan kekerabatan, kerancuan nilai-nilai dan pandangan hidup yang bertentangan dengan agama, hukum serta norma-norma yang berlaku ditengah-tengah masyarakat.

Pada kaitan ini akan menjadi pertanyaan besar manakala ada dalam suatu keluarga, yang bersikap masa bodoh, dengan dalih memberikan kebebasan terhadap anggota keluarganya untuk mencari atau memilih suatu pandangan hidup atau cara hidup yang lain. Jika sikap ini menjadi suatu pendirian, maka pandangan tersebut tidak  lebih baik dari kehidupan  orang-orang primitif.

Baca Juga: Kreasi Masakan Mudah dan Praktis: Cara Membuat Mie Nyemek Instan, Hidangan Sempurna saat Hujan

Berbagai tantangan kehidupan  di zaman modern semakin banyak,  setiap saat bermunculan di tengah-tengah kehidupan, tendensi  sebuah tantangan yang mengancam keutuhan dan ketahanan keluarga bisa timbul macam-macam, dari yang bersifat materi-konsumtif, hingga merambah pada yang bersifat rohani dan kejiwaan, pergeseran persepsi terhadap nilai-nilai moral, agama dan lain sebagainya, tampaknya akan menjadi suatu kenyataan yang tidak mungkin dielakkan akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun demikian bukan berarti kita harus menghindar, atau menjauhi kemajuan iptek tersebut, sehingga membuat derajat manusia menjadi turun, bodoh atau zumud, tetapi sebaliknya manusia harus menjadi lebih cerdas, lebih tanggap, pandai memilah-milah  kemana arah dan tujuan, serta pandangan hidup yang dituju pada akhirnya.

Persoalan  keluarga identik dengan persoalan pribadi, sehingga manakala kita melihat  sosok keluarga seseorang  tidak dapat diukur secara lahir dengan kacamata umum. Misalnya; sosok keluarga si A terkesan rukun-rukun saja dalam pandangan masyarakat sekitarnya, akan tetapi seringkali masyarakat dikejutkan dengan peristiwa yang terjadi pada keluarga tersebut, seperti kekerasan dalam rumag tangga ( KDRT ). Problema dan kemelut dalam intern keluarga, yang berimplikasi terhadap carut-marutnya nilai-nilai kemusiaan (dehumanisasi) dikalangan generasi muda, senantiasa muncul dan tenggelam ibarat pasang surut gelombang lautan, baik pada skala nasional maupun regional.

Setiap keluarga wajib memiliki daya tangkal, sabuk pengaman terhadap semua tantangan dan ancaman yang membahayakan, disamping perlunya upaya peningkatan pengertian dan pemahaman kembali,  untuk apa mereka berkeluarga ?. sekalipun terjadi perubahan struktur kehidupan sosial di masyarakat, bahkan terjadi pergeseran nilai-nilai, itu semua tidak menjadi masalah, karena sistem kekeluargaan dalam Islam secara mendasar telah digariskan dalam alquran surat Ar-Rum ayat 21) yang artinya : “ Diantara tanda-tanda kebesaran Allah, ialah menciptakan untuk kamu dari jenismu, pasangan-pasanganmu supaya cenderung hatimu kepadanya, dan Allah menjadikan diantara kamu kasih sayang dan rahmat. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi mereka kaum yang berpikir tentang keindahan ciptaan Allah.”

Baca Juga: Meski Muncul Nama Nurhayati, DPC PPP Kota Tasikmalaya Bulat Usung H Ivan Dicksan

Bentuk apa saja yang sifatnya membahayakan kehidupan manusia, apakah sistem pergaulan - kekeluargaan diluar garis yang ada, adalah merupakan suatu pelanggaran, baik secara moral maupun hukum.  Maka apa yang disebut sebagai sistem “kekeluargaan terbuka”, dalam ajaran Islam tidaklah dikenal. Walaupun adanya berbagai bangsa dan suku-suku, atau kondisi  masyarakat yang pluralitas heterogen, hanyalah suatu perbedaan etnis, yang dalam Islam merupakan hikmah untuk persatuan dan kesatuan dalam ikatan “ummatan wahidatan,” serta untuk saling kenal-mengenal diantara sesamanya.

Keharusan untuk memelihara dan menyelamatkan generasi muda sebagai anggota keluarga dan mempertahankan keutuhan keluarga, adalah merupakan bagian dari tugas dan kewajiban kita untuk menjaga martabat agama dan kehormatan pribadinya sebagai bagian integral dari refleksi hari keluarga nasional.***

Penulis : HE Mahpuddin Noor (Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung)

 

Editor: Zulkarnaen Finaldi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah