Khutbah Jumat: Kriteria Hidup Yang Baik Dalam Islam

21 Juni 2024, 07:30 WIB
ILUSTRASI Khutbah Jumat. /Lasti Martina/Portal Purwokerto/Dall-E

 

KABAR TASIKMALAYA - Berbicara tentang kriteria hidup yang baik menurut ajaran Islam, Alloh swt telah mengisyaratkan dalam alquran yang artinya : “Barangsiapa mengerjakan perbuatan yang baik, laki-laki atau wanita dalam keadaannya sebagai orang yang beriman, niscaya akan Kami karuniakan kepadanya hidup yang baik, hayatan thoyibah. Dan sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya pahala sesuai dengan apa yang mereka kerjakan sebaik-baiknya.” (QS. An-nahl : 97).

Kemudian menurut ulama ahli tafsir Imam Qurthuby dalam Kitabnya “Al-jami`u li Ahkamil Quran” (jilid 10 halaman 174), menguraikan tentang unsur dari hidup yang baik (hayatan thayibah ) itu sekurang-kurangnya ada lima, yaitu :

(1). Rizki yang halal. Dalam kehidupan didunia banyak orang mendapatkan rizki yang melimpah ruah, akan tetapi rizki itu diperolehnya dengan jalan yang salah, merugikan orang lain, masyarakat atau negara, seperti mencuri, merampok, korupsi dan lain sebagainya, tidak melalui jalan yang wajar, atau halal.

Sehingga kemudian cara mendapatkan harta seperti itu, dianggapnya soal sekunder, bila perlu dengan menempuh jalan yang dikatakan oleh Machiavelli “tujuan menghalalkan cara” (het doel heiligt de middelen).

Baca Juga: Khutbah Jumat: Senjata Paling Ampuh Hanyalah Doa

Seseorang yang hidupnya serba glamor, uang dan hartanya melimpah ruah, emasnya bertambang-tambang, mobil dan rumahnya serba mewah, depositonya tersedia di sejumlah bank, segala keinginan dan nafsunya dapat dipenuhi, sehingga kemudian pada lahirnya hidupnya kelihatan senang dan  bahagia, tetapi batinnya merasa tersiksa, jiwanya gelisah, sebab hati nuraninya dari dalam  mengatakan bahwa kekayaannya  itu diperoleh dengan jalan yang “haram”.

Berbeda halnya dengan orang yang hidup dengan rizki yang halal, walaupun hidupnya “pas-pasan”, tinggal dirumah gubuk yang diguyur air dimusim hujan, memakai lampu togok, selimut tipis dan tanggung tatkala tidur, hidup apa adanya. Akan tetapi orang semacam ini, lebih merasa tenang, tidak tersangkut-paut dengan orang lain yang dianggap mengganjal dirinya, sumber hidup yang diperolehnya, walaupun sekedar untuk bisa mempertahankan hidup, tapi berasal dari rizki yang halal.

(2). Qana`ah. Hidup qana`ah artinya adalah mencukupkan dengan apa yang ada. Istilah mencukupkan dengan apa yang ada, menurut Islam dinamakan ridho, menerima dan pasrah terhadap karunia Illahi. Seperti diketahui bahwa setiap manusia mempunyai hasrat dan tabiat yang selalu tidak merasa puas.

Dalam suatu Hadits Rasulullah saw mengatakan : “Seandainya manusia mempunyai dua lembah yang penuh dengan emas, maka dia akan menghendaki lembah yang ketiga. Kalau sudah dapat tiga lembah, dia menghendaki lagi lembah yang keempat. Nafsu itu baru berakhir bila jasadnya sudah dimasukan ke dalam kubur.”

Nafsu terhadap kemewahan hidup itu, pernah diibaratkan oleh Nabi Isa as; “laksana seorang yang minum air laut di waktu dahaga, semakin banyak diminum maka akan semakin haus”.

(3). Taufik. Unsur ketiga hidup yang baik itu adalah mendapatkan taufik dari Allah swt, taufik yang berasal dari akar kata  waqafa, artinya sesuai dengan apa diharapkan dan direncanakan.

Baca Juga: Kejutan Baru di Pilgub Jabar, PDIP Ajukan Susi Pudjiastuti. Pengamat: Terkesan Persaingan Antara RK dengan KDM

Apabila dalam kehidupan ini manusia senantiasa bertemu dengan pengharapannya, sesuai dengan rencana yang ditargetkan sebelumnya, itu namanya taufik, dan sumber taufik itu ialah “hidayah”, yaitu petunjuk yang dikaruniakan oleh Allah swt kepada manusia yang dikehendakinya.

(4). Sa`adah. Unsur keempat hidup sa`adah, artinya bahagia, pada unsur ini tidak dapat dilihat dan diraba, sifatnya abstrak. Hubungannya erat sekali dengan soal kejiwaan, rohaniyah. Ukurannya berbeda-beda bagi tiap-tiap orang, ada yang mendasarkannya kepada unsur-unsur material, akan tetapi pada hakekatnya yang menumbuhkan bahagia itu adalah unsur-unsur spiritual.

Nilai-nilai jasmaniyah (lahiriyah), selalu ditentukan oleh faktor-faktor rohaniyah (bathiniyah), dari zaman ke zaman senantiasa dicari orang apa sebenarnya kebahagiaan  itu, dan dimana letaknya kebahagiaan.

Dalam suatu riwayat, seorang filusuf Yunani terkenal; Socrates, pernah membawa obor di siang bolong ke tengah-tengah pasar yang ramai. Banyak orang bertanya kepadanya: Apakah masud anda membawa obor padahal matahari memancarkan cahaya yang terang benderang? Socrates menjawab: “Saya sedang mencari bahagia yang sampai pada saat ini belum bertemu.” Ucapannya itu mengandung falsafah yang dalam.

Baca Juga: Menggugah Selera! Cara Membuat Kebab Daging Sapi ala Rumahan untuk Anak-anak

(5). Jannah. Unsur-unsur yang diuraikan diatas pada umumnya adalah menyangkut bidang-bidang kehidupan di dunia, yang sifatnya temporer akan lenyap dan sirna. Setiap orang Islam memang dibolehkan bahkan diperintahkan, untuk menghayati kenikmatan hidup didunia ini.

Akan tetapi prioritas utama adalah menyiapkan bekal (persediaan) yang menjadi kunci untuk membuka pintu kehidupan yang baik di akhirat kelak, yang sifatnya kekal dan abadi.

Oleh karena demikian fasilitas yang diperoleh dalam kehidupan di dunia ini, hendaklah dijadikan sarana atau jembatan untuk menggapai  kehidupan yang lebih baik di akhirat kelak yang bernama sugra (jannah).

Apabila kehidupan yang baik (hayatan thayibah), baik di dunia ini maupun di akhirat kelak, diibaratkan sebagai mahligai yang tinggi, yang penuh dengan serba kenikmatan dan kebahagiaan, maka upaya untuk menggapai kriteria hidup yang baik berdasarkan uraian surat An-nahl ayat 97 seperti disebutkan diatas ada dua; yaitu pertama amal shaleh dan kedua beriman kepada Alloh swt.***

Editor: Zulkarnaen Finaldi

Tags

Terkini

Terpopuler